SAMPANG, Nusaberita.live – Dalam langkah yang dinilai sebagai upaya menjaga sinergi antara insan pers dan aparat kepolisian, enam perwakilan Lintas Media Sampang (LMS) mendatangi Mapolres Sampang, Senin (10/3/25).
Kedatangan mereka, yang diterima langsung oleh Kapolres Sampang AKBP Hartono S.Pd MM, bukan sekadar silaturahmi biasa. Di balik pertemuan ini, terselip kekhawatiran mendalam terkait kebebasan pers dan potensi represi terhadap karya jurnalistik di wilayah hukum Kabupaten Sampang, Madura, Jawa Timur.
Ketua LMS Hernandi Kusumahadi S.Sos beserta jajarannya selain memaparkan banyak hal tentang LMS yang telah berdiri sejak 2009, juga datang dengan membawa dua agenda utama: menyampaikan solidaritas atas perlakuan kontroversial terhadap Band Punk SUKATANI asal Purbalingga, Jawa Tengah, dan mengingatkan Kapolres baru tentang pentingnya menjaga ruang gerak jurnalis di Sampang.
M. Slamet,Kabiro Beritatrends Sampang, mengucapkan terima kasih kepada Kapolres dan jajarannya yang telah merespons positif surat pemberitahuan audiensi yang diajukan sebelumnya. Ia menegaskan bahwa kunjungan ini tidak hanya sekadar silaturahmi, tetapi juga sebagai bentuk solidaritas terhadap perlakuan yang dialami oleh Band SUKATANI asal Purbalingga, Jawa Tengah
“Kami prihatin dengan perlakuan terhadap SUKATANI. Kami berharap kejadian serupa tidak terjadi di Sampang,” ujar M Slamet, Kabiro Beritatrends Sampang, mewakili LMS.
Namun, di balik ungkapan prihatin tersebut, LMS juga menyuarakan kekhawatiran yang lebih mendasar. Muji, salah satu anggota LMS, mengingatkan bahwa apa yang dialami SUKATANI bisa saja terjadi dalam bentuk lain di dunia jurnalistik. “Jika SUKATANI dianggap bermasalah karena karya seninya, tidak menutup kemungkinan jurnalistik juga akan menjadi sasaran berikutnya,” tegas Muji.
Ia mengingatkan kembali kebijakan kontroversial di masa lalu, di mana Polres Sampang sempat membatasi akses wartawan yang tidak memiliki Sertifikasi Uji Kompetensi Wartawan (UKW) atau media yang tidak terafiliasi dengan Dewan Pers.
Kebijakan itu, menurut Muji, tidak hanya memicu kegaduhan nasional tetapi juga dianggap melanggar UU Pers yang menjamin hak akses informasi. “Tidak ada aturan spesifik yang membatasi hak wartawan. Justru, UU Pers melindungi hak kami untuk mengakses informasi,” tandasnya.
LMS berharap Kapolres Hartono dapat lebih bijak dan cermat dalam mengambil kebijakan, terutama yang berkaitan dengan kebebasan pers.
Menanggapi hal tersebut, Kapolres Hartono menyambut baik kedatangan LMS dan mengapresiasi masukan yang diberikan. “Kami tidak anti-kritik. Selama masukan itu positif, konstruktif, dan disampaikan dengan etika, kami akan menerimanya dengan terbuka,” tegasnya.
Ia juga lanjut hartono menegaskan komitmennya untuk tidak membatasi akses informasi bagi insan pers, asalkan semua pihak memahami situasi dan SOP yang berlaku.
Namun, di tengah janji keterbukaan tersebut, pertanyaan besar tetap mengemuka: apakah komitmen Kapolres Hartono akan benar-benar diwujudkan dalam kebijakan nyata, ataukah ini sekadar retorika untuk meredam kekhawatiran insan pers? Sejarah kebijakan kontroversial di masa lalu menjadi pengingat bahwa sinergi antara pers dan aparat kepolisian tidak selalu berjalan mulus.
Pertemuan ini mungkin hanya langkah awal, tetapi ia membuka ruang dialog yang selama ini kerap tertutup. LMS, dengan langkah kritisnya, telah menegaskan bahwa kebebasan pers bukan sekadar hak, melainkan pilar demokrasi yang harus dijaga. Kapolres Hartono, di sisi lain, dihadapkan pada ujian nyata: apakah ia akan menjadi pemimpin yang membuka ruang bagi kebebasan berekspresi, atau justru melanjutkan warisan kebijakan represif yang pernah terjadi?
Satu hal yang pasti: pertemuan ini bukan sekadar formalitas. Ia adalah cermin dari dinamika hubungan antara pers dan aparat keamanan di era di mana kebebasan berekspresi seringkali diuji oleh kekuasaan. Dan di Sampang, pertarungan itu masih jauh dari usai.(Sup)