SAMPANG, Nusaberita.live – Aktivis Mahasiswa Yang tergabung di Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Sampang Ketua Bidang Perguruan Tinggi, Mahasiswa dan Pemuda , Moh.Agus Efendi, mengkritik Revisi Undang-Undang (RUU) TNI, Polri, hingga Kejaksaan yang bergulir di DPR. Agus Efendi melihat saat ini yang harus dilakukan adalah penguatan pengawasan publik.
“Penguatan pengawasan publik lebih penting ketimbang perluasan kewenangan dalam RUU Polri dan Kejaksaan,” ujar pria yang akrab di panggil Agus, Minggu (16/3/2025).
“3 RUU ini harus dievaluasi dan bahkan tidak urgent dan tidak perlu dibahas di DPR saat ini,” tambahnya.
Agus lalu menyampaikan sejumlah catatan kritis dalam 3 RUU ini. Pertama, RUU TNI. Araf melihat RUU TNI ini akan membuka potensi dwifungsi ABRI karena militer boleh mengisi jabatan sipil.
“Di dalam Pasal 47 UU TNI kemudian di revisi di draf UU TNI militer bisa menduduki di jabatan-jabatan sipil, ini menurut saya keliru, ini di masa Orde Baru disebut dwifungsi ABRI bahwa militer tidak hanya terlibat dalam pertahanan tapi juga non-pertahanan,” kata Agus.
Agus menerangkan sejatinya secara teoritis, TNI bertugas untuk dilatih dan didik dalam persiapan perang. Jika TNI ditarik di non-pertahanan, katanya, akan membuka ruang kembalinya dwifungsi ABRI seperti zaman Orde Baru.
“Secara teoretis, secara konsepsi, tugas militer adalah dilatih dan dididik, untuk persiapan perang, ketika ditarik ke non-pertahanan mereka diduduki di jabatan sipil terjadinya dwifungsi ABRI RUU TNI membuka ruang kembalinya dwifungsi ABRI,” ungkapnya.
Kedua, di RUU Polri. Agus menyinggung soal adanya tugas keamanan nasional di RUU Polri Pasal 14 ayat 1.
“RUU Polri di Pasal 14 ayat 1 disebutkan Polri menyebutkan tugas untuk kepentingan nasional keamanan nasional, baru kali ini saya membaca diksi tentang keamanan nasional di dalam RUU Polri di dalam UU Nomor 22 nggak ada keamanan nasional,” kata Agus.
Selanjutnya, Agus juga memberi catatan kritis ke RUU Kejaksaan. Agus melihat di RUU Kejaksaan tertuang adanya fungsi intelijen penyelidikan yang bisa memanggil seseorang tanpa harus adanya alat bukti.
“Di dalam UU Kejaksaan memiliki fungsi inteligensi penyelidikan itu udah eksis, lalu kemudian jaksa bisa memanggil mereka-mereka tanpa alat bukti karena otoritas kewenangan penyelidikan di RUU Kejaksaan mungkin diperkuat,” kata Agus.
Agus mengatakan hal itu tidak bisa dilakukan Kejaksaan. Dia menyebutkan warga negara mempunyai hak untuk menolak dipanggil jika tidak ada alasan hal apa yang didasari dalam pemanggilan tersebut.
“Dalam konteks penegakan hukum memanggil warga nagara itu harus ada alat bukti. dua alat bukti, warga negara punya hak dipanggil atas hal apa atas dasar apa untuk kepentingan apa, dengan fungsi intelijen punya potensi menjadi tinggi,” ujar Agus
(red/Sp)