Selasa, Juni 17, 2025
BerandaBerita NTTKekerasan terhadap Anak di SDI Muwur, Politisi Golkar : Mediasi Budaya Diusulkan...

Kekerasan terhadap Anak di SDI Muwur, Politisi Golkar : Mediasi Budaya Diusulkan sebagai Solusi

Manggarai, Nusaberita.live – Kasus kekerasan terhadap anak kembali mencoreng dunia pendidikan Indonesia. Kali ini, sorotan tajam tertuju pada Sekolah Dasar Inpres (SDI) Muwur, Kecamatan Rahong Utara, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur. Seorang guru, Aven Gandu, diduga melakukan pemukulan terhadap siswa bernama Jefrianus hingga korban tak sadarkan diri, selasa (18/2/25). Kejadian ini memicu reaksi keras dari berbagai pihak, termasuk politisi lokal dan aparat penegak hukum.

Yoakim Y. Jehati, Anggota DPRD sekaligus Ketua DPD Golkar Manggarai, menyatakan keprihatinannya atas insiden tersebut. Menurutnya, kasus ini bukanlah yang pertama kali terjadi di wilayah tersebut. “Peristiwa ini sudah menyebar luas dan menjadi perbincangan hangat sejak kemarin. Namun, hingga kini belum ada kejelasan dari pihak berwenang,” ujar Yoakim saat berbincang dengan reporter Nusaberita.Live, Selasa (25/2/25) sore.

Yoakim menegaskan bahwa pemerintah dan dunia pendidikan harus mengambil langkah tegas untuk mencegah terulangnya kejadian serupa. “Ini bukan sekadar kasus kekerasan biasa. Ini tentang masa depan anak-anak kita. Pemerintah harus bersikap agresif dan tepat dalam menangani masalah ini,” tegasnya

Meski mengakui pentingnya penegakan hukum, Yoakim justru mengusulkan penyelesaian kasus ini melalui mediasi berbasis budaya Manggarai. “Kita harus mengedepankan nilai-nilai budaya Manggarai, khususnya lonto leok, di mana semua persoalan bisa diselesaikan dengan dialog,” jelasnya. Politisi asal Kecamatan Cibal ini berharap mediasi dapat menjadi jalan tengah untuk mencapai solusi damai.

Namun, usulan mediasi ini menuai kritik dari berbagai kalangan. Banyak yang mempertanyakan apakah pendekatan budaya dapat menggantikan proses hukum yang seharusnya dijalankan. Apalagi, kasus ini melibatkan kekerasan terhadap anak yang jelas-jelas dilindungi oleh Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Pasal 80 ayat (1), (2), dan (3) UU tersebut secara tegas menyatakan bahwa tindak kekerasan atau penyiksaan terhadap anak adalah tindak pidana yang harus dihukum.

Sementara itu, Kepala Seksi Humas Polres Manggarai, Iptu I Made Budiarsa, mengonfirmasi bahwa kasus ini masih dalam tahap penyelidikan. “Tim Unit PPA telah turun ke lokasi kejadian di Rahong Utara untuk mengumpulkan keterangan dari saksi dan terlapor,” ujar Made saat ditemui wartawan di ruang kerjanya, Selasa pagi.

Made menambahkan, setelah semua keterangan terkumpul, pihaknya akan melakukan gelar perkara untuk menentukan apakah kasus ini akan dinaikkan ke tahap penyidikan. “Kami akan memastikan proses hukum berjalan sesuai prosedur,” tegasnya.

Menurut keterangan Kalistus G. Mulia, salah satu keluarga korban, kejadian bermula saat para siswa ribut di dalam kelas karena tidak ada guru yang mengajar. Guru Aven yang datang kemudian menanyakan siapa yang bertanggung jawab atas keributan tersebut. “Saat teman korban melaporkan bahwa Jefrianus yang ribut, guru Aven langsung meninju korban di pelipis kanan dan kiri hingga jatuh tak sadarkan diri,” ujar Kalistus.

Yang lebih memilukan, meski melihat korban terkapar, guru Aven justru meninggalkan ruangan tanpa memberikan pertolongan. “Dia pergi begitu saja, seolah tidak peduli dengan kondisi korban,” tambah Kalistus.

Kasus ini telah memicu kemarahan publik, terutama di media sosial. Banyak netizen menuntut agar guru Aven dihukum seberat-beratnya. “Ini bukan sekadar masalah disiplin, ini tentang kemanusiaan. Bagaimana mungkin seorang guru tega melakukan kekerasan terhadap anak didiknya?” tulis salah satu warganet.

Masyarakat juga meminta pemerintah dan dinas pendidikan setempat untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap sistem pengawasan di sekolah-sekolah. “Kasus ini harus menjadi pelajaran bagi semua pihak. Jangan sampai ada lagi anak-anak yang menjadi korban kekerasan di lingkungan pendidikan,” tegas seorang aktivis perlindungan anak.

Di tengah upaya mediasi yang diusulkan Yoakim, muncul pertanyaan besar: apakah pendekatan budaya akan mengabaikan keadilan bagi korban? Mediasi mungkin bisa menyelesaikan konflik secara damai, tetapi apakah itu cukup untuk memulihkan trauma korban dan memberikan efek jera bagi pelaku?

Kasus kekerasan terhadap anak di SDI Muwur ini harus menjadi momentum bagi semua pihak untuk mengevaluasi sistem perlindungan anak di Indonesia. Penegakan hukum yang tegas dan transparan adalah kunci untuk memastikan keadilan bagi korban dan mencegah terulangnya kejadian serupa di masa depan.

(Nobertus)

RELATED ARTICLES

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisment -spot_img
- Advertisment -spot_img

Most Popular

Recent Comments

MR KHM GM KGPC PROF DR RM DULIMAN ABD ROZAK SH. ADV. MM. DBA. MSI. CIE. IB. BBA. PhD. SE Asia. pada Jokowi Hadiri Pemakaman Paus Fransiskus di Vatikan atas Mandat Presiden Prabowo

This will close in 0 seconds