Surabaya, Nusaberita.live – Program pemerintah yang bertujuan menyediakan makanan bergizi gratis (MBG) bagi masyarakat kurang mampu kini dirundung masalah.
Program yang seharusnya menjadi solusi atas kebutuhan gizi masyarakat tersebut ternyata dimanfaatkan oleh sejumlah oknum untuk melakukan praktik korupsi dengan cara baru.
Sekretaris Jenderal Laskas Pemberdayaan dan Peduli Rakyat (Sekjen Lasbandra), Achmad Rifai, mengungkapkan bahwa kurangnya pengawasan dan transparansi dalam pendistribusian menjadi peluang bagi oknum untuk menyalahgunakan program ini.
“Oknum-oknum tersebut menahan pasokan hingga harga meningkat, lalu menjualnya kembali dengan keuntungan besar,” ungkap Rifai, Senin (20/1/25).
Program Makan Bergizi (MBG), yang menyerap anggaran hingga Rp71 triliun, kini menghadapi kritik keras. Rifai menegaskan bahwa langkah konkret harus segera diambil untuk menghindari penyalahgunaan program yang seharusnya membawa manfaat bagi masyarakat luas.
“Jangan biarkan niat mulia ini dirusak oleh kepentingan pribadi,” tambahnya.
Dugaan lain juga mencuat bahwa badan hukum perkumpulan seperti LSM atau Ormas sengaja tidak dilibatkan dalam pengelolaan dana dan pengadaan program ini.
Menurut Rifai, keputusan ini menciptakan celah yang membuat pengawasan semakin lemah dan membuka ruang untuk konflik kepentingan.
“Prosedur pengadaan tanpa melibatkan badan hukum perkumpulan membuat kontrol terhadap dana publik menjadi lebih sulit,” jelas Rifai.
Ia juga mencurigai ada motif tertentu di balik kebijakan ini, termasuk upaya menghindari kewajiban hukum dan pengawasan yang lebih ketat.
Regulasi yang Tidak Dioptimalkan
Sebenarnya, LSM dan Ormas memiliki akses untuk berkontribusi dalam program pemerintah melalui berbagai jalur.
Misalnya, melalui dana hibah APBD yang diatur dalam Permendagri No. 123 Tahun 2018, belanja tidak terduga sesuai Permendagri No. 77 Tahun 2020, atau proyek swakelola yang diatur dalam LKPP No. 3 Tahun 2021. Namun, pengabaian terhadap potensi ini justru memperburuk efektivitas program MBG.
Sejumlah pihak yang enggan disebutkan namanya menduga bahwa keterlibatan mitra tanpa badan hukum perkumpulan dilakukan untuk menyembunyikan agenda tertentu.
Keputusan ini dianggap sebagai celah besar dalam pengelolaan anggaran, yang berpotensi merugikan masyarakat.
Kasus ini menegaskan pentingnya transparansi dan pengawasan ketat dalam pelaksanaan program publik, terutama yang melibatkan anggaran besar. Jika tidak, upaya pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat hanya akan menjadi lahan subur bagi praktik korupsi.
($P)