SAMPANG, Nusaberita.live – Gelombang kritik kembali mengemuka terhadap revisi tiga Rancangan Undang-Undang (RUU) yang sedang bergulir di DPR, yakni RUU TNI, RUU Polri, dan RUU Kejaksaan.
Kali ini, suara kritis datang dari aktivis mahasiswa yang tergabung dalam Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Sampang. Moh. Agus Efendi, Ketua Bidang Perguruan Tinggi, Mahasiswa, dan Pemuda HMI Sampang, menegaskan bahwa penguatan pengawasan publik harus menjadi prioritas utama, bukan perluasan kewenangan institusi negara yang justru berpotensi mengikis prinsip demokrasi.
“Penguatan pengawasan publik lebih penting ketimbang perluasan kewenangan dalam RUU Polri dan Kejaksaan,” tegas Agus, Minggu (16/3/25).
Menurutnya, ketiga RUU ini tidak hanya tidak mendesak, tetapi juga berpotensi mengancam tatanan demokrasi yang telah dibangun pasca-Reformasi 1998.
Salah satu poin kritis yang diangkat Agus adalah revisi RUU TNI, khususnya Pasal 47, yang membuka peluang militer untuk menduduki jabatan sipil. “Ini jelas mengingatkan kita pada era Orde Baru, di mana militer tidak hanya berperan dalam pertahanan, tetapi juga merangsek ke ranah non-pertahanan melalui konsep dwifungsi ABRI,” ujar Agus.
Secara teoretis, tugas utama militer adalah mempersiapkan diri untuk perang dan menjaga pertahanan negara. Namun, dengan adanya revisi ini, TNI berpotensi kembali terjun ke ranah sipil, sebuah langkah yang dinilai Agus sebagai kemunduran besar bagi demokrasi Indonesia. “Ketika militer ditarik ke non-pertahanan dan menduduki jabatan sipil, itu artinya kita sedang membuka pintu lebar-lebar bagi kembalinya dwifungsi ABRI,” tegasnya.
Tidak hanya RUU TNI, RUU Polri juga menuai kritik tajam. Agus menyoroti Pasal 14 ayat 1 yang menyebutkan tugas Polri untuk menjaga “keamanan nasional“. Menurutnya, diksi “keamanan nasional” ini merupakan hal baru yang tidak ditemukan dalam UU Nomor 22 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. “Ini menimbulkan pertanyaan besar: apa sebenarnya yang dimaksud dengan keamanan nasional? Apakah ini hanya dalih untuk memperluas kewenangan Polri?” tanya Agus.
Ia mengkhawatirkan, dengan adanya frasa tersebut, Polri bisa saja mengambil alih tugas-tugas yang seharusnya menjadi domain institusi lain, seperti Badan Intelijen Negara (BIN). Hal ini, menurutnya, berpotensi menciptakan tumpang tindih kewenangan dan mengaburkan batas-batas fungsi masing-masing institusi.
Sementara itu, RUU Kejaksaan juga tidak luput dari sorotan. Agus menilai, pemberian kewenangan intelijen dan penyelidikan kepada Kejaksaan dalam RUU tersebut berpotensi melanggar hak-hak warga negara. “Dalam RUU ini, jaksa bisa memanggil seseorang tanpa harus memiliki alat bukti. Ini sangat berbahaya karena bisa mengarah pada penyalahgunaan wewenang,” ujarnya.
Agus menegaskan, dalam konteks penegakan hukum, pemanggilan warga negara harus didasarkan pada alat bukti yang sah. “Warga negara memiliki hak untuk menolak dipanggil jika tidak ada alasan yang jelas. Dengan adanya fungsi intelijen ini, potensi penyalahgunaan wewenang menjadi sangat tinggi,” tambahnya.
Agus menegaskan, ketiga RUU ini harus dievaluasi ulang secara mendalam. Menurutnya, yang dibutuhkan saat ini bukanlah perluasan kewenangan institusi negara, melainkan penguatan mekanisme pengawasan publik. “Ketiga RUU ini tidak urgent dan tidak perlu dibahas di DPR saat ini. Yang lebih penting adalah memastikan bahwa setiap kebijakan yang diambil benar-benar melindungi hak-hak warga negara dan tidak mengancam demokrasi,” tegasnya.
Kritik yang dilontarkan Agus ini seakan menjadi pengingat bahwa dalam proses legislasi, prinsip-prinsip demokrasi dan hak asasi manusia harus selalu menjadi prioritas utama. Tanpa pengawasan publik yang kuat, perluasan kewenangan institusi negara hanya akan membuka pintu bagi kembalinya praktik-praktik otoritarian yang pernah menggerogoti negeri ini. (Sup)